Ada banyak kelompok yang dibentuk berdasarkan kesamaan
minat, profesi, marga/klan, kampung asal, domisili, hobby, agama, alumni
sekolah tertentu, dan sebagainya. Dan semua ini rupanya seperti mengingatkan
kepada saya, bahwa sesungguhnya manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia
adalah makhluk sosial. Dalam hidup dan kehidupannya, manusia selalu akan
berhubungan dengan kelompok apa pun, manusia selalu akan menjadi bagian dari
kelompok apapun. Dan dalam banyak hal, kelompok dimana kita hidup, tumbuh dan
berkembang mempunyai andil besar dalam membentuk nun jauh dibawah sadar kita,
sebuah gugusan nilai dasar, yang juga sering dikenal dengan “believe system”.
Ada banyak batasan yang diberikan para ahli tentang
kelompok. Namun dalam buku ini saya menyajikan batasan kelompok dalam
perspektif psikologi. Dalam buku Psikologi Sosial 2 tulisan Robert A. Baron dan
Donn Byrne, kelompok dalam pandangan psikolog-psikolog sosial adalah sekumpulan
orang yang dipersepsikan terikat satu sama lain dalam sebuah unit yang koheren
pada derajat tertentu. Menurut Lickel dkk (2000) dalam Baron dan Byrne (2003),
pada derajat koherensi 1 – 9, kelompok-kelompok dengan anggota yang memiliki
hubungan yang intim, memiliki minat yang sama pada suatu hal, berkumpul dalam
sebuah periode waktu tertentu secara sengaja, akan memiliki derajat koherensi
yang tinggi. Dalam konteks ini, kelompok yang terbentuk pada sebuah pelatihan
tentunya memiliki derajat koherensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kelompok yang terdiri dari orang-orang yang secara kebetulan hadir pada tempat
dan waktu yang sama, misalnya para penonton sepak bola. Mungkin saja, beberapa
diantara mereka memiliki hubungan yang akrab tetapi secara keseluruhan mereka
bukanlah kelompok yang koheren dan memiliki ikatan interaksi yang intensif.
Ciri Kelompok
Menurut Sherif (dalam Gerungan, 2004), terdapat 4 ciri utama
sebuah kelompok sosial, untuk membedakannya dari berbagai bentuk interaksi
sosial lainnya, yaitu :
1. Motif yang sama
antara anggota kelompok;
2. Reaksi-reaksi
dan kecakapan yang berlainan antara anggota kelompok;
3. Penegasan
struktur kelompok;
4. Penegasan
norma-norma kelompok.
Dalam konteks sebuah pelatihan, 4 ciri tersebut diatas saya
uraikan sebagai berikut :
1. Motif yang sama
antara anggota kelompok;
Para peserta sebuah pelatihan, baik sebagai sebuah kelompok
besar secara keseluruhan maupun sebagai kelompok kecil ketika mereka telah
dibagi dalam beberapa kelompok kecil, sudah pasti memiliki sebuah motif yang
sama dimana mereka harus bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai tugas dalam
setiap simulasi maupun permainan.
2. Reaksi-reaksi
dan kecakapan yang berlainan antara anggota kelompok;
Dalam sebuah kelompok peserta pelatihan, ketika kelompok ini
dihadapkan pada berbagai aktifitas bersama untuk pencapain tujuan bersama yang
telah ditetapkan, akan bermunculan reaksi-reaksi yang berbeda dari setiap
individu dalam kelompok tersebut. Berdasarkan pengalaman saya, reaksi yang
berbeda dari setiap individu biasanya terjadi karena adanya perbedaan dalam
believe system setiap individu tersebut. Tentang believe system, akan saya
uraikan pada bagian selanjutnya tentang hypnosis. Disamping reaksi – reaksi
yang berbeda, juga muncul kecakapan yang berbeda dari setiap individu anggota kelompok
dalam menyikapi berbagai aktifitas atau permainan yang mereka ikuti. Perbedaan
ini dapat mendorong distribusi tugas sesuai kecakapan masing-masing tersebut.
3. Penegasan
struktur kelompok;
Penegasan struktur kelompok dalam hal ini lebih pada penegasan
peran masing-masing anggota kelompok dalam setiap aktifitas bersama. Peran
masing-masing anggota kelompok, idealnya tidak jauh dari latar belakang believe
system dan kecakapan masing-masing anggota kelompok tersebut. Dari pengalaman,
biasanya dalam sebuah pelatihan, ada yang berperan sebagai ketua/bos, pekerja,
penyemangat, pemikir, bahkan ada juga yang berperan sebagai juru bicara.
4. Penegasan
norma-norma kelompok.
Masih menurut Sherif, norma kelompok dalam konteks ini
berkaitan dengan cara-cara tingkah laku yang diharapkan dari semua anggota
kelompok. Dalam konteks peserta pelatihan, hemat saya norma disini termasuk
didalamnya bagaimana partisipasi aktif dari semua anggota kelompok ketika
kelompok dihadapkan pada sebuah tugas atau aktifitas.
Tentang Dinamika Kelompok
Dinamika kelompok adalah cermin pasang surutnya sebuah
kelompok. Untuk kelompok peserta sebuah pelatihan, dinamikanya dimulai ketika
mereka mulai berdatangan saat registrasi, acara pembukaan, penyajian materi
sampai pada acara penutupan bahkan pada pasca pelatihan, dapat diamati dinamika
sebuah kelompok dari jaringan kontak yang terbangun diantara sesama peserta.
Proses dinamika kelompok dimulai dari tahap “forming” dimana individu sebagai
pribadi yang masuk ke dalam kelompok dengan latar belakang pendidikan, ruang
lingkup kerja dan jenis kerja yang berbeda. Mereka belum berkenalan, muncul
ketidakpastian, perasan cemas, tetapi ada juga sebagian yang antusias, mereka
mulai bersosialisasi dan melakukan pengujian atas perilaku mereka dan kelompok.
Mereka mengemukakan isu pokok, tentang “siapa kami”, “siapa orang-orang dalam
kelompok ini” dan “apa tugas kami”. Setelah mereka masuk dalam kelompok dan
mulai berdiskusi terjadilah “storming”. Konflik mulai bermunculan, mulai ada
yang frustrasi, sebagian menolak kelompok, ada persaingan antara anggota
kelompok. Muncul isu-isu pokok “apa harapan saya terhadap orang lain dalam
kelompok ini, apa yang mereka harapkan dari saya” dan “apa manfaat kelompok ini
bagi saya”.
Setelah itu maka kelompok akan berdinamika dalam proses
“norming” dalam rangka pencarian bentuk serta kerangka acuan bersama. Saat ini
dalam kelompok mulai terjadi harmonisasi, ada upaya untuk mengidentifikasi
kelompok, mulai ada yang bernegosiasi, kerjasama mulai terbina diantara mereka,
dan jika ada konflik, konflik tersebut mulai teratasi. Isu pokok yang mengemuka
pada tahap ini adalah “bagaimana kita dapat bekerja sama dengan baik” dan
“bagaimana kita dapat mencapai tujuan kelompok kita”. Jadi ada semacam
kesadaran kolektif untuk bekerjasama mencapai tujuan bersama. Kemudian pada
tahap akhir, bermodalkan norma atau kerangka acuan bersama inilah, kelompok
melakukan sebuah kegiatan “performing”. Pada tahap ini, kelompok telah membuat
peta kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan, kerjasama dan sinergi
telah terjalin sehingga kelompok menjadi lebih produktif. Isu pokoknya telah bergeser pada tatanan yang
lebih tinggi, “bagaimana kita dapat mengukur keberhasilan kita”.
Setelah kelompok mulai melakukan “performing”, supaya
hubungan emosional antara anggota kelompok tetap terpelihara, hemat kami
tawakan Jalaluddin Rahmat (1996) tentang beberapa peran dibawah ini kiranya
dapat menjadi acuan :
1. Encourager
(penggalak), memuji, menyetujui, dan menerima kontribusi anggota. Ia menunjukkan
kehangatan dan kesetiakawanan dalam sikapnya terhadap anggota kelompok yang
lain, memberikan penghargaan dan pujian dan dalam berbagai hal menunjukkan
pengertian dan penerimaan terhadap pandangan, gagasan, dan saran orang lain.
2. Harmonizer
(wasit), melerai pertikaian diantara anggpta-anggota yang lain, berusaha
mendamaikan perbedaan, mengurangi ketegangan pada situasi konflik – melalui
lelucon atau kata-kata yang menentramkan.
3. Compromiser
(kompromis), bekerja dari dalam konflik yang melibatkan gagasan atau posisi. Ia
mungkin menawarkan kompromi dengan merendah, mengakui kekeliruan,
mendisiplinkan diri untuk mempertahankan harmoni kelompok, atau memilih sikap
tengah-tengah dalam menghadapi kelompok.
4. Gatekeeper and
expediter (penjaga gawang), berusaha membuka saluran komunikasi dengan
mendorong pertisipasi yang lain (“Kita belum mendengar pendapat tuan X”) atau
dengan mengusulkan aturan arus komunikasi (“Sebaiknya kita membatasi lamanya
pembicaraan, sehingga setiap orang punya kesempatan untuk memberikan
kontribusinya”).
5. Standard setter
or ego ideal (pembuat aturan), menetapkan kriteria kelompok dalam menjalankan
fungsinya atau menggunakan kriteria dalam menilai kualitas kelompok.
6. Group observer
and commentator (pengamat kelompok), menyimpan catatan berbagai aspek proses
kelompok dan memberikan data tersebut berikut penafsirannya untuk dipakai oleh
kelompok dalam menilai prosedurnya.
7. Follower
(pengikut), mengikuti gerakan kelompok, secara pasif menerima gagasan yang lain,
berfungsi sebagai pendengar dalam diskusi dan pengambilan keputusan.
Sementara itu bagaimana kita menilai dinamika sebuah
kelompok, Sri Ratna (1993) telah menguraikan
aspek-aspek yang dinilai dalam sebuah dinamika kelompok, yaitu :
1. Pengenalan
terhadap diri sendiri dan orang lain;
2. Keterbukaan,
mau mendengarkan orang lain, terbuka terhadap pendapat dan saran orang lain;
3. Disiplin dan
memiliki rasa tanggung jawab yang besar;
4. Secara sukarela
bersedia berpartisipasi dalam kegiatan dinamika kelompok;
5. Lancar
berkomunikasi dengan anggota kelompok lainnya;
6. Mampu
bekerjasama dengan orang lain dan mampu bekerja sama dalam tim;
7. Mau dan
bersedia menghargai pikiran dan pendapat orang lain;
8. Mampu
mengendalikan diri;
9. Mampu serta
bersedia untuk menerima umpan balik (feed back) dari kolega, atasan maupun
bawahan.
Aspek-aspek tersebut diatas dapat saya uraikan lebih lanjut
menyesuaikan dengan konteks pelatihan dinamika kelompok ataupun outbound dan
sejenisnya, dengan penjelasan sebagai berikut : “Pengenalan terhadap diri
sendiri dapat dilakukan misalnya lewat permainan “Siapakah Saya” dimana peserta
disuruh membuat, melukiskan atau menceritakan segala hal tentang dirinya.
Simulasi ini juga sekaligus dapat dipakai untuk ajang perkenalan. Atau bisa
juga dengan mencermati potensi diri, khususnya berkaitan dengan hubungan antara
konsep diri dan membuka diri, melalui Joharry Window (tentang ini anda bisa
baca secara detail pada buku Psikologi Komunikasi tulisan Jalaluddin Rahmat).
Setelah itu peserta berkenalan satu sama lain sehingga pada akhirnya semua
peserta dapat saling mengenal. Setelah mengenal diri sendiri dan orang lain,
setiap peserta harus membuka diri dan menerima saran atau pendapat orang lain
dalam kelompoknya, tentunya terutama berkaitan dengan pelaksanaan aktifitas
atau simulasi tertentu. Pada saat melaksanakan “performance” inilah pembagian
tugas mulai dilakukan. Sejauh mana setiap orang dapat mengerjakan bagian dari
tugas kelompok yang dibebankan kepadanya tepat pada waktunya dan dengan hasil
yang optimal, maka disiplin dan tanggung jawabnya akan teruji pada tahap ini.
Disiplin dan tanggung jawab ini tentunya harus terlahir dari
kerelaan pribadi yang bersangkutan, bukan karena paksaan, tetapi lantaran dia
telah masuk dalam kelompok dan bersedia dengan ikhlas hati mengerjakan tugas
kelompok. Dalam konteks ini juga diperlukan komunikasi dan kerjasama, serta
kesediaan menghargai pendapat orang lain. Ketika ada anggota kelompok yang
‘bermasalah’, misalnya tidak menyelesaikan tugasnya dengan baik atau terlalu
memaksakan kehendaknya kepada yang lain, maka respon terhadap kondisi ini juga
hendaknya tidak emosional, tetapi tetap dalam nuansa pengendalian diri”
Dengan demikian, dapat saya katakan bahwa dinamika kelompok
yang dimaksudkan oleh tulisan ini adalah serangkaian aktifitas atau permainan
dalam kelompok sebuah pelatihan dengan metode belajar dari pengalaman atau
experience learning, apapun tema pelatihan tersebut. Dinamika kelompok dalam
hal ini memainkan sebuah peran sebagai salah satu mesin pembangkit semangat dan
gairah kelompok. Sebab sebagaimana diketahui bahwa teori psikologi sekarang
jelas telah menunjukkan bahwa kelompok dengan semangat tim yang tinggi akan
bekerja lebih baik daripada kelompok yang hanya memiliki sedikit semangat tim.
Dibawah ini saya sajikan 11 sifat kelompok yang berfungsi
baik dan kreatif, yang dirangkum Douglas McGregor dari pengamatannya atas
manajemen perusahaan-perusahaan besar, sebagaimana diungkap Sheila Rosenberg
dalam buku Memimpin Manusia suntingan A. Dale Timpe :
1. Suasananya
cenderung informal, menyenangkan, santai.
2. Terjadi banyak
diskusi dimana setiap orang berperan serta, tetapi berhubungan dengan tugas
kelompok.
3. Tugas atau
sasaran kelompok dipahami dan diterima dengan baik oleh para anggota. Ada
diskusi bebas mengenai sasaran-sasaran pada satu titik hingga sasaran tersebut
dapat dirumuskan dalam suatu cara hingga semua anggota kelompok terikat untuk
mencapainya.
4. Anggota saling
mendengarkan satu sama lain. Setiap gagasan dibahas. Orang tampaknya tidak
takut karena merasa bodoh mengajukan sebuah gagasan yang kreatif, meskipun
kelihatannya ekstrim.
5. Ada
ketidaksepakatan. Ketidaksepakatan tidak ditekan atau dilanggar oleh tindakan
kelompok yang prematur. Alasan-alasannya diamati dengan seksama, dan kelompok
berusaha untuk memecahkannya bukan mendominasinya.
6. Sebagian besar
keputusan dicapai melalui sejenis konsensus dimana semua orang jelas sepakat
dan bersedia mengikutinya. Voting secara resmi jarang sekali dilakukan.
Kelompok tidak menerima mayoritas sebagai dasar tindakan yang tepat.
7. Kritik sering
diajukan, terus terang, dan relatif menyenangkan. Hanya ada sedikit bukti
serangan kepada pribadi, baik terbuka atau tersembunyi.
8. Orang-orang
bebas mengungkapkan perasaan serta gagasan mereka baik atas masalah atau atas
kegiatan kelompok.
9. Jika dilakukan
tindakan, penugasan yang jelas dibuat dan diterima.
10. Pemimpin kelompok
tidak mendominasinya, atau sebaliknya, kelompok tidak bertentangan dengannya.
Sebenarnya, kepemimpinan berubah-ubah dari waktu ke waktu, tergantung kepada
keadaan. Hanya ada sedikit bukti adanya perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan
ketika kelompok bekerja. Masalahnya bukan siapa yang mengendalikan, tetapi
bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan.
11. Kelompok sadar
dengan kegiatannya sendiri.
Kelompok yang sehat dan dinamis dalam perspektif saya,
sejatinya senantiasa berdinamika. Dan karena itulah binar pesona sebuah
kelompok dan daya tarik dinamika kelompok, mampu melahirkan pribadi-pribadi
yang dinamis dan penuh pesona. Semoga catatan kecil ini bisa memberi ‘insight’
bagi siapa saja penggerak kelompok dan penggiat dinamika kelompok. (Yoseph
Tien).
0 komentar:
Posting Komentar